/

Drainase yang Mati, Pemerintah yang Lalai

17 Oct 2025, 02:51 | Jejak Rupa | 0 comments

Liputan Khusus Jejakrekam 5.0 | Investigasi Lingkungan | Banjarmasin

Oleh: Tim Investigasi Jejakrekam – Batang Banyu Institute

Hujan deras kembali mengguyur Banjarmasin siang itu. Dalam hitungan menit, air sudah merambat di aspal Jalan Sudirman—urat nadi utama kota ini. Genangan setinggi mata kaki menelan marka jalan, membuat pengendara sepeda motor terpaksa menepi, sebagian lainnya jatuh terpeleset. Di sisi trotoar, air berputar-putar mencari arah, tapi tak juga mengalir. Di bawahnya, saluran drainase tampak tersumbat oleh tumpukan sampah plastik, botol minuman, hingga sisa makanan yang menggunung di balik jeruji besi penutup selokan.

“Kalau hujan sedikit saja, pasti banjir,” keluh Rahmat, warga sekitar yang saban hari membuka warung di tepi jalan itu. “Sampah di got nggak pernah dibersihkan, airnya penuh lumpur. Pemerintah seperti tutup mata.”

Sampah di Drainase: Penyakit Lama yang Dibiarkan

Tim Jejakrekam menelusuri saluran drainase sepanjang Jalan Sudirman, dari simpang K.H. Hasan Basri hingga jembatan Merdeka. Hasil pengamatan menunjukkan sebagian besar lubang saluran tersumbat total oleh timbunan sampah. Di beberapa titik, air tergenang dengan bau menyengat. Tidak terlihat adanya petugas kebersihan atau aktivitas rutin pemeliharaan.

Kondisi ini bukan hal baru. Berdasarkan laporan warga di media sosial dan arsip pemberitaan sejak 2022, keluhan soal “drainase mampet” dan “banjir di tengah kota” berulang setiap musim hujan. Namun, hingga kini, belum ada tanda perbaikan berarti dari Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kota Banjarmasin.

Seorang petugas lapangan yang enggan disebut namanya mengakui, saluran drainase di kawasan Sudirman memang sudah lama mengalami pendangkalan dan penyumbatan. “Sudah beberapa kali diusulkan untuk perbaikan, tapi belum disetujui anggarannya,” ujarnya singkat.

Air Tak Lagi Mengalir ke Sungai

Secara teknis, drainase di kawasan Sudirman berfungsi mengalirkan air hujan langsung ke Sungai Martapura. Namun akibat sedimen dan sampah yang menumpuk, air kehilangan jalur alirnya. Akibatnya, setiap kali hujan deras, air meluap ke badan jalan dan menimbulkan genangan yang cukup luas.

Kepala Bidang Sumber Daya Air Dinas PUPR saat dikonfirmasi hanya menyebut, pihaknya “masih melakukan evaluasi dan menunggu koordinasi dengan DLH.” Jawaban itu berulang dari tahun ke tahun—sementara warga tetap terjebak di genangan air yang sama.

Dampak Sosial dan Keselamatan

Setiap kali hujan deras, lalu lintas di kawasan ini lumpuh. Kemacetan panjang tak terhindarkan, terutama di jam pulang kerja. Tak jarang pula terjadi kecelakaan tunggal akibat motor tergelincir di jalan yang licin. Data dari Unit Laka Lantas Polresta Banjarmasin menunjukkan, dalam tiga bulan terakhir saja tercatat setidaknya lima kasus kecelakaan ringan di sekitar Jalan Sudirman akibat jalan tergenang air.

“Airnya dangkal, tapi bikin bahaya,” kata Widi, pengendara ojek online. “Sekali rem mendadak, bisa jatuh. Kadang ada mobil yang nyiprat air ke pengendara juga.”

Tanggung Jawab Hukum Pemerintah

Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pengelolaan sistem drainase termasuk dalam urusan wajib pelayanan dasar bidang pekerjaan umum dan penataan ruang (Pasal 12 ayat 1 huruf c).
Lebih lanjut, Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menegaskan bahwa pemerintah daerah berkewajiban mencegah pencemaran dan kerusakan lingkungan akibat limbah padat maupun cair.

Dalam konteks ini, kegagalan pemerintah kota untuk menjaga kebersihan dan fungsi saluran drainase bukan sekadar kelalaian administratif, melainkan pelanggaran kewajiban hukum. Bila terbukti adanya dampak berupa kerugian publik, kemacetan, bahkan kecelakaan, maka tanggung jawab hukum dapat melekat pada pemerintah daerah sebagai penyelenggara layanan publik.

Kewajiban tersebut ditegaskan kembali dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Pasal 65 ayat 2), yang menyatakan:

“Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia.”
Sedangkan Pasal 67 mengatur:
“Setiap orang dan pemerintah wajib memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran.”

Artinya, pemerintah kota tidak hanya wajib membersihkan drainase, tetapi juga bertanggung jawab atas dampak sosial, ekonomi, dan keselamatan warga yang ditimbulkan akibat kelalaiannya.

Jejakrekam: Ketika Air Berbicara

Banjarmasin dikenal sebagai kota seribu sungai, namun kini justru dikepung oleh genangan di jalan-jalan utama. Air yang seharusnya menjadi anugerah berubah menjadi ancaman karena salah urus dan abai terhadap sistem dasar perkotaan.

Sampah di drainase hanyalah gejala dari penyakit lama: tata kelola kota yang lalai dan tak berkesinambungan. Pemerintah bisa saja berdalih soal anggaran atau kesadaran warga, tetapi ketika air meluber ke jalan dan menelan korban, maka diamnya pemerintah adalah bentuk nyata dari kelalaian publik.